TfY7TSdpTpClTpW5Gpr8Gfr9

KPHP Tebo Barat: Masih Ada Salah Tafsir Terkait TORA

Di simpang Pemayung - SP 7, (Simp. Agus) Sumay. 
TEBOONLINE.ID - Salah satu program Pemerintah saat ini telah menempatkan Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria sebagai salah satu agenda penting untuk memperluas akses masyarakat dalam mengelola hutan.

Sasaran dari program ini adalah masyarakat yang selama ini tinggal di dalam kawasan hutan negara, menduduki dan mengelola hutan sebagai sumber kehidupannya, termasuk pada kawasan yang telah dibebani Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Tanaman industri (IUPHHK-HTI).

Joko Sutrisno, Kepala KPHP Tebo Barat mengatakan bahwa Hutan Tanaman Industri pada hakikatnya adalah kawasan hutan produksi milik negara yang diusahakan oleh pihak swasta untuk membantu pemerintah menghasilkan devisa, membuka lapangan kerja dan reboisasi/penghutanan kembali.

Perambahan (penguasaan area hutan) yang massif, penebangan liar, perburuan satwa liar dan potensi konflik yang tinggi membuat investasi di sektor kehutanan menjadi penuh tantangan.

Padahal di sisi lain pemerintah juga memiliki keterbatasan untuk mengelola wilayah hutan yang membutuhkan investasi besar.
Pemerintah juga menyadari bahwa banyak masyarakat di sekitar hutan yang tingkat kesejahteraannya rendah.

Untuk itulah mengapa beberapa tahun terakhir pemerintah mengembangkan kebijakan Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria untuk memperluas akses masyarakat bagi sumber daya hutan.

Menurutnya, setidaknya ada empat regulasi penting yang mengatur konsep Perhutanan Sosial dan Reforma Agaria di kawasan hutan antara lain:
Peraturan Presiden Nomor  86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria
Peraturan Presiden Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan No P 17/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2018  Tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Dan Perubahan Batas Kawasan Hutan Untuk Sumber Tanah Obyek Reforma Agraria
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P 83/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2018 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial
Perhutanan sosial sendiri adalah pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat setempat melalui 5 skema pengelolaan yaitu Hutan Adat, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan dan Kemitraan (dengan pengelola kawasan seperti KPHP atau dengan Pemegang Izin Konsesi). Kebijakan Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria yang diterbitkan pemerintah pada prinsipnya saling melengkapi dan mendukung demi kepentingan kesejahteraan masyarakat.

Lebih jauh Joko Sutrisno menerangkan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diluruskan dimana seringkali terjadi salah tafsir oleh sebagian penggarap lahan di Tebo yang berharap areanya dapat menjadi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA). 

Pertama, penguasaaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat selama ini sebagian besar digunakan untuk berkebun sawit atau karet dan bukan tanamam pertanian untuk mendukung program ketahanan pangan seperti padi, jagung dan palawija seperti yang menjadi kriteria sasaran dari area kawasan hutan yang dapat dilepas menjadi TORA.

Kedua, untuk memenuhi syarat TORA lahan itu harus sudah dikuasai selama 20 tahun secara berturut – turut dan tidak berganti orang sesuai Peraturan Presiden Nomor 88 tahun 2017, sehingga lahan yang dikuasai kurang dari 20 tahun atau sudah berpindah tangan dalam 20 tahun terakhir atau lebih tidak dapat menjadi TORA.

Syarat ketiga ialah penggarap lahan wajib masyarakat setempat. Dengan demikian apabila ada diantara penggarap yang merupakan masyarakat dari luar daerah, permohonan TORA tersebut tidak dapat dipenuhi. 

Keempat, lahan garapan  di kawasan hutan yang akan menjadi TORA harus sudah masuk dalam Peta indikatif Arahan Kawasan Hutan untuk Tanah Obyek Reforma Agaria dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) . Adapun lahan garapan yang belum masuk ke dalam Peta Indikatif tersebut maka tidak dapat diajukan sebagai TORA.

KPHP Tebo Barat bersama dengan instansi lain akan berupaya proaktif untuk mensosialiasikan kebijakan Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria di tingkat tapak sehingga masyarakat dapat memahami isi dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

KPHP Tebo Barat mengajak semua pihak untuk turut mendukung kebijakan pemerintah. Joko juga mengungkapkan pihaknya terbuka untuk bekerjasama dengan LSM pendamping masyarakat untuk melakukan kegiatan sosialiasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dan meminimalisir potensi konflik yang mungkin timbul.

Ia menyayangkan jika ada pihak-pihak tertentu yang justru memberi informasi yang tidak tepat dan akhirnya membuat warga menjadi bingung atau justru saling berkonflik.

“Kami mengajak semua elemen masyarakat termasuk LSM pendamping masyarakat untuk bersama-sama mendukung program ini, khususnya sosialisasi kepada masyarakat. Kebijakan ini penting dipahami oleh semua pihak agar tidak ada kesalahpahaman yang dapat berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat,” ujar Joko. (crew)